Tuesday, January 8, 2013

Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia, Sebuah Analisis Perbandingan

A.    Revolusi Perancis
Salah satu ajaran yang berpengaruh di Eropa sebelum Revolusi Perancis adalah ajaran Nicolo Machiavelli. Ajarannya mendukung kekuasaan raja secara mutlak. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul II Principe (The Prince ; Sang Raja). Dalam bukunya digambarkan tentang kekuasaan seorang raja yang absolut dengan kekuasaan tak terbatas terhadap suatu negara, termasuk harta dan rakyat yang berada di dalam wilayah kekuasaannya. Ajaran Machiavelli berkembang di Eropa sekitar abad ke-17 dan dianut oleh raja-raja dari Eropa seperti Raja Frederick II, Tsar Peter Agung, Kaisar Joseph II, Raja Charles I dan juga raja-raja Louis dari Perancis. Pengaruh pemikiran Machiavelli bahkan memiliki dampak yang cukup luas dalam pemikiran politik. Politik modern juga masih mengadopsi pemikiran tersebut. Tidak jarang politik diartikan sama seperti yang dikemukakan oleh Machiavelli sebagai "the tools for leader to win and hold the power". Intrik dan konflik politik sering mewarnai setiap pergantian kepemimpinan di berbagai belahan dunia. Tidak jarang pula pemikiran politik yang demikian memunculkan pemimpin-pemimpin besar yang berpengaruh besar bagi kehidupan banyak bangsa. Pemimpin-pemimpin demikian justru dijunjung tinggi rakyatnya saat mereka berkuasa, tetapi justru dihujat setelah mereka turun dari tampuk pemerintahannya. Di luar aspek sentimen negatif rakyat terhadap pemimpin tersebut, pada dasarnya pemimpin demikian selama berkuasa tidak sedikit menghasilkan berbagai perubahan radikal dan progresif bagi sistem politik di tingkat nasional maupun dunia.
Selain pemikiran Machiavelli, ide mengenai pemerintahan raja yang begitu luas juga sebenarnya dipengaruhi oleh konsep kepemimpinan gereja Katolik di masa tersebut, khususnya yang dikenal dengan "pontifex maximus". Kekuasaan Paus dengan sistem pontifex maximus, mendorong para pengusung kekuasaan ingin memperoleh kekuasaan luas seperti yang dimiliki oleh Paus. Di Eropa Timur, terutama Yunani, ide tersebut dimanifestasikan dalam bentuk sistem pemerintahan kekaisaran yang bercorak sama dengan sebutan caesaro-papisme. Jabatan kaisaran adalah sebagai kepala gereja di negerinya dan sekaligus juga kepala negara. Kesetiaan seorang warga negara terhadap Tuhan harus ditunjukkan pula dengan sikap taat dan tunduknya kepada Kaisar sebagai wakil Tuhan.
Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal. Meski Perancis kemudian akan berganti sistem antara republik, kekaisaran, dan monarki selama 75 tahun setelah Republik Pertama Perancis jatuh dalam kudeta yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien régime (bahasa Indonesia: Rezim Lama; merujuk kepada kekuasaan dinasti seperti Valois dan Bourbon) dan menjadi lebih penting daripada revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis. Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini terjadi, salah satu di antaranya adalah karena sikap orde yang lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-kepentingan yang berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.
Masa kekuasaan Raja Louis XIV diilustrasikan oleh Charles Dickens dalam buku Oliver Twist sebagai sesuatu kebiadaban golongan aristokrat terhadap rakyat jelata. Golongan aristokrat memeras rakyat dengan pajak yang tinggi, hidup mewah dan berpesta pora dengan kekayaan tersebut, dan membiarkan rakyat jelata hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Rakyat dijerat dengan hukuman yang keras. Penjara Bastile dibangun sebagai lambang absolutisme raja. Orang-orang yang menentang kekuasaan raja dan golongan aristokrat akan dipenjarakan dan disiksa selama berada dalam penjara Bastile. Pada akhirnya mereka juga akan berahir di ujung pisau guloitine. Tindakan semena-mena raja dan golongan aristokrat memang menuai protes dari banyak kalangan. Para pemikir yang sempat mengalamai sendiri Perang Kemerdekaan Amerika (1776) dan Glorious Revolution di Inggris berusaha menggalang kekuatan rakyat melalui protes yang disampaikan dalam pemikiran-pemikirannya. John Locke (1632 - 1704) melancarkan protesnya terhadap absolutisme Perancis dengan mengemukakan ide-ide mengenai hak asasi manusia (hak milik, hak kemerdekaan, dan hak kebebasan); stated rule by law; dan perlunya pemisahan kekuasaan. Montesquieu (1689 - 1755) dalam tulisan berjudul L'esprit des Lois mengemukakan teori Trias Politica sebagai landasan kenegaraan. Jean Jacques Rouseau (1712 - 1778) dalam bukunya du contract Social mengusulkan tentang perlunya perjanjian masyarakat, kesamaan, dan kemerdekaan dalam sebuah pemerintahan. Voltaire (1684 - 1778) memprotes cara hidup para bangsawan yang menindas rakyat jelata dan mengusulkan tentang perlunya pendidikan secara meluas. Ide Voltaire dikembangkan kemudian oleh Diderot dan D'Alembert dengan menerbitkan 35 jilid Ensiklopedia yang dihimpun dari karya-karya Voltaire.
Revolusi Perancis terjadi karena, rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Kekuasaan raja yang absolut dan penarikan pajak yang memberatkan menjadi faktor utama pendorong Revolusi Perancis. Sementara faktor-faktor yang turut mendorong revolusi tersebut adalah: merosotnya perekonomian Perancis akibat pemborosan kaum bangsawan; tidak adanya kepastian hukum; perbedaan yang menyolok antar golongan dalam masyarakat; Revolusi Amerika; Glorious Revolution (1689) dan pemikiran-pemikiran para ilmuwan besar seperti John Locke dan kawan-kawan. Meletusnya Revolusi Perancis ditandai dengan diserangnya Penjara Bastile oleh rakyat Perancis pada tanggal 14 Juli 1789. Penyerangan atas penjara tersebut di dasarkan paling tidak pada 3 alasan, yaitu: (1) penjara Bastile merupakan gudang persenjataan dan makanan; (2) membebaskan tawanan politik yang dapat mendukung gerakan revolusi; (3) membebaskan orang-orang tidak berdosa yang telah ditangkap dan dipenjarakan secara semena-mena ke dalam penjara Bastile.
Keburukan perekonomian Perancis yang mendorong penindasan terhadap rakyat, selain disebabkan oleh pemborosan dari kalangan kerajaan juga diakibatkan oleh keperluan besar yang harus dikeluarkan oleh Perancis untuk mendanai peperangan. Ketika Perang Kemerdekaan berkobar di Amerika, Perancis mengirim pasukannya yang dipimpin oleh Lafayette untuk membantu perjuangan rakyat Amerika Utara antara tahun 1776 - 1783. Bagi perekonomian Perancis, upaya politis demi kejayaan ini justru turut menyedot anggaran besar yang harus ditanggung rakyat. Pengalaman perjuangan para prajurit selama mendukung perang tersebut justru menjadi bumerang bagi pemerintah, karena semangan dan cita-cita kemerdekaan tersebut turut mendorong mereka juga ingin mendapatkan kebebasan yang sama di negaranya. Pengalaman Perang Kemerdekaan Amerika dalam hal ini dapat turut diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang juga mempengaruhi proses Revolusi Perancis. Meskipun penyerangan terhadap Bastile dimulai dari rakyat biasa yang merasa tertindas dan terbebani oleh pajak tanah (taille), pajak garam (gabelle), dan juga pajak anggur (aide); namun jika tidak didukung oleh para prajurit dan pejuang, tentu Revolusi tersebut tidak akan dengan mudah berhasil. Semboyan Revolusi Perancis yang diserukan selama masa-masa pergerakan terinsipirasi oleh pengalaman-pengalaman para prajurit Lafayette semasa mendukung perang kemerdekaan Amerika.
Tindakan yang diambil oleh Louis XVI juga sekaligus merupakan langkah bunuh diri paling buruk dalam pemerintahan Perancis. Louis XVI yang terkenal dengan kepribadiannya yang polos dan lemah tidak berdaya menghadapi tuntutan pemenuhan kebutuhan anggaran belanja negara yang terlalu besar. Ia sudah tidak mampu lagi menghadapi kekosongan kas negara. Dalam keadaan tertekan dan bingung, Louis XVI mengaktifkan kembali Etats Generaux yang telah dibekukan pada masa pemerintahan Louis XIII berdasarkan saran dua Menteri kepercayaannya, yaitu Turgot dan Necker. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh anggota-anggota parlemen untuk menyerang pemerintahan dan berusaha untuk menancapkan kekuasaan baru di Perancis. Tujuan Louis XVI ketika mengaktifkan kembali Etats Generaux pada tanggal 5 Mei 1789 adalah agar dewan rakyat bersidang dan membantu dirinya untuk mengatasi masalah kekosongan kas negara. Sidang Etats Generaux tidak dapat menjalankan tugas dengan baik dan tidak memberikan solusi yang berarti. Justru terjadi perbedaan pendapat tajam diantara anggota-anggota Etats Generaux itu sendiri. Sidang Etats Generaux pada akhirnya dibubarkan tanpa pengambilan keputusan apapun.
Kegagalan sidang Etats Generaux tidak menyurutkan langkah maju para pendukung perubahan. Kesempatan bagi Dewan Rakyat untuk bersidang yang disetujui oleh raja dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh golongan III. Golongan III di negeri Perancis yang terdiri dari para pedagang dan rakyat mengambil inisiatif untuk membentuk Assemble Nationale (Dewan Nasional). Golongan III didukung oleh para bangsawan, terutama Mirebeau, Lafayette, dan Sieyes yang sejak lama telah berambisi untuk mampu berkuasa dan melengserkan kekuasaan raja Perancis. Golongan III melakukan sidang pada tanggal 17 Juni 1789 sebagai langkah pengukuhan posisi politik. Dalam sidang tersebut golongan lain juga diberi kesempatan untuk mengambil bagian, dengan ketentuan bahwa tidak ada pembedaan golongan di dalam pembuatan keputusan. Penggalangan kekuatan ini ternyata berhasil. Dengan bergabungnya pendukung dari golongan lain ke dalam Assemble Nationale, pada tanggal 20 Juni 1789, dewan tersebut menyelenggarakan sidang pertama dan mengganti nama menjadi Assemble Nationale Constituante. (Dewan Konstitusi Nasional). Proklamasi pembentukan Assemble Nationale Constituante merupakan langkah awal rakyat melalui parlemen untuk mengambil kembali mandatnya dari raja. Dewan Konstitusi Nasional memiliki cita-cita tunggal, yaitu mengubah Perancis menjadi sebuah negara yang berdasarkan konstitusi. Anggota dewan mengucapkan sumpah setia untuk tidak membubarkan diri sampai dengan terbentuknya konstitusi atau undang-undang. Pihak kerajaan berekasi keras terhadap tindakan tersebut. Dewan Konstitusi Nasional dianggap sebagai suatu usaha untuk merebut kekuasaan. Raja memerintahkan agar sidang dewan dibubarkan. Anggota dewan dan rakyat menolak, bentrokanpun terjadi antara pasukan keamanan kerajaan dengan anggota dewan. Kemampuan dewan menggerakkan rakyat pada akhirnya mengarahkan massa dalam jumlah besar ke penjara Bastile pada tanggal 14 Juli 1789.
Revolusi Perancis tidak hanya diarahkan kepada kalangan kerajaan saja. Ketidakpuasan rakyat terhadap kalangan agama dan bangsawan yang dianggap menindasnya juga turut dilampiaskan. Rakyat yang mengamuk secara membabi buta menyerang ke rumah-rumah para bangsawan dan biarawan. Mereka merampas, membunuh, dan mengusir orang-orang kaya tersebut dari rumahnya. Kemudian rumah-rumah mereka dibakar. Menurut Charles Dickens dalam Oliver Twins, sejak saat itu banyak kaun bangsawan dan kalangan gereja yang selamat melarikan diri ke luar Perancis. Mereka kemudian menjadi emigran dan tidak berani kembali ke Perancis. Sementara itu, para penggerak Revolusi membentuk pemerintahan Revolusi dan melakukan beberapa tindakan sebagai penguasa baru di Perancis. Lafayette membentuk garde nationale (pasukan keamanan). Anggota Dewan Konstitusi Nasional membentuk Majelis Konstituante yang kemudian menyusun Konstitusi Perancis. Konstitusi ini berhasil dibuat pada tahun 1791 dan ditandatangani oleh Seiyes, Mirebeau, dan Lafayette. Pemerintahan legislatif juga menghapuskan hak-hak istimewa golongan bangsawan dan golongan gereja. Hak-hak milik mereka yang tersisa dari rampasan rakyat disita. Seluruh gelar kebangsawanan juga dihapuskan dan diganti dengan gelar baru yang lebih memperhatikan hak persamaan, demokrasi, dan persaudaraan.
Pemerintah juga mengumumkan pernyataan hak-hak manusia dan warga yang telah disepakati tanggal 26 Agustus 1789 oleh Dewan Nasional. Pernyataan tersebut didasarkan pada semboyan Revolusi Perancis, yaitu liberte, egalite, dan fraternite. Untuk mengabadikan pernyataan tersebut digunakan bendera nasional yang berwarna merah, biru, dan putih (vertikal) dan lagu kebangsaan Marseillaise. Sejak saat itu pula Perancis memperingati hari Nasionalnya, yaitu setiap 14 Juli. Raja Louisnya dan istrinya berusaha melarikan diri ketika Revolusi terjadi dengan bantuan pasukan Austria. Namun pada tahun 1792, anggota-anggota kerajaan berhasil ditangkap. Pada tahun tersebut juga, Dewan legislatif membuat dua keputusan penting, yaitu menghapuskan bentuk pemerintahan kerjaan dan mengubah Perancis menjadi Republik serta menjatuhkan hukuman mati dengan guillotin terhadap Louis XVI, Maria Antoinette, dan para bangsawan istana lainnya yang tertangkap. Eksekusi terhadap 2000 orang dilakukan pada September 1792.
Perebutan kekuasaan dialami Perancis pasca revolusi. Sistem pemerintahan silih berganti dan saling tumbang menumbangkan. Setelah menjadi Republik, Perancis dipimpin oleh Robespiere, namun huru hara terus saja berlanjut. Tahun 1793 - 1794 terbentuk pemerintahan teror yang dipimpin oleh Marat, Danton dan Robespiere. Golongan borjuis akhirnya berhasil menggulingkan kekuasaan Robespiere pada tahun 1795, mereka kemudian membentuk pemerintahan Direktorat yang dijalankan oleh 5 direktur, yaitu Barra, Mouli, Gobier, Roger Ducas, dan Seiyes yang berkuasa sampai dengan 1799. Kehilangan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Direktorat memberi kesempatan kepada Napoleon Bonaparte untuk mengambil alih pemerintahan. Pada awalnya ia membentuk pemerintahan Konsulat (1799) yang beranggotakan dirinya sendiri bersama Seiyes dan Roger Ducas. Perbedaan pendapat diantara ketiga konsul tersebut menyebabkan kedua anggota lainnya pada akhirnya mengundurkan diri darijabatan. Sejak itu Napoleon Bonaparte kemudian mengambil alih seluruh kekuasaan dan menobatkan diri menjadi Kaisar Perancis pada tahun 1804. Penobatan tersebut dimintakan pengukuhannya kepada Paus Pius VII.
Selama masa kekaisaran Napoleon Bonaparte, Perancis kembali menjadi sebuah negara yang terkenal. Napoleon menjalankan pemerintahan dengan sistem militer. Sumbangan Napoleon Bonaparte bagi Perancis dan dunia juga sangat besar. Bagi Perancis, semasa kekuasaannya ia berusaha membentuk pemerintahan yang stabil dan kuat. Napoleon juga mengeluarkan tiga undang-undang penting, yaitu code civil, code penal, dan code commerce. Pengembangan politik ke luar negeri dilakukan dengan cara membentuk Perancis menjadi negara yang jaya di Eropa. Ia juga berusaha membentuk federasi Eropa di bawah kekuasaan Perancis. Cita-cita Napoleon Bonaparte menimbulkan reaksi keras dari rakyat Eropa. Koalisi bangsa-bangsa Eropa pada akhirnya berhasil menangkap dan mengasingkan Napoleon Bonaparte ke Elba pada tahun 1814.Semangat dan cita-citanya yang besar membawa ia melarikan diri dan berhasil kembali ke Perancis. Pada tahun 1815 ia kembali ditangkap dan kali ini ia diasingkan ke Pulau Saint Helena. Setelah keruntuhan kekaisaran Napoleon Bonaparte, Perancis kembali masuk ke dalam era kegelapan. Absolutisme kembali berkembang di bawah pemerintahan Raja Louis XVIII (1815 - 1824) dan dilanjutkan oleh Karel X (1824 - 1830). Pada tahun 1830 revolusi kembali terjadi di Perancis dan sejak saat itu sampai dengan tahun 1848 terjadi vacuum of Power. Pada tahun 1848, rakyat akhirnya menyelenggarakan pemilu dan mengangkat Louis Napoleon (Napoleon IV) sebagai pemimpin negara republik. Kekuasaan dan ambisi kembali mengantarkan Napoleon IV mengakat diri menjadi Kaisar pada tahun 1861. Pada tahun 1872, Napoleon IV berhasil diturunkan dari tahtanya dan oleh rakyat disepakati untuk mengesahkan pemerintahan Republik yang bertahan hingga masa sekarang.
Revolusi Perancis memiliki pengaruh besar bagi masyarakat dunia. Semboyan dan asas-asas yang diperjuangkan selama revolusi memberikan sumbangan besar bagi pembentukan Piagam Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh PBB 10 desember 1948. Meskipun sedikit berbeda dengan Glorious Revolution di Inggris yang menghasilkan Bill of Right. Perancis juga berhasil membentuk pernyataan hak-hak kemanusian melalui Revolusi. Piagam yang disepakati pada tanggal 27 Agustus 1789 tersebut antara lain berisikan pernyataan bahwa: (1) manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak yang sama; (2) hak-hak itu adalah kemerdekaan, hak milik, hak perlindungan diri, dan hak untuk menentang penindasan; (3) rakyat adalah sumber dari segala kedaulatan.
Tindakan penjajahan Belanda dan praktek liberalisme di satu sisi memang menimbulkan penindasan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Namun liberalisme dan keterbukaan sekaligus membuka kesempatan kepada sebagian rakyat Indonesia untuk memperoleh pencerdasan dan pelajaran berharga. Indonesia memperoleh pengetahuan baru dan sekaligus mendapatkan semangat untuk menggalang persatuan yang pada akhirnya mendorong terjadinya pergerakan nasional. Pergerakan nasional inilah yang selanjutnya mengantarkan Indonesia mencapai kemerdekaan dari Belanda dan penjajah asing lainnya.
Sebab-sebab Revolusi Perancis mencakup hal-hal di bawah ini:
1.      Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.
2.  Kemarahan terhadap sistem seignerialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan-sampai batas tertentu-kaum borjuis.
3.      Bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan.
4.  Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang tak seimbang.
5.  Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan terhadap Revolusi Amerika.
6.      Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
7.   Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius.
8.      Kebencian terhadap intoleransi agama.
9.      Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.

Aktivitas proto-revolusioner bermula ketika raja Perancis Louis XVI (memerintah 1774-1792) menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara keuangan sama dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-1781), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam, namun gagal. Langkah-langkah itu mendapatkan tantangan terus-menerus dari parlement (pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para Bangsawan", yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan juga dari fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan. Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan Perancis.
Namun, setelah Callone melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, menetapkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja akan mengemalikan kepercayaan akan keuangan Perancis, dan dapat memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali dari utang tersebut. Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuannya, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya, dan berkeras bahwa hanya lembaga yang betul-betul representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil berbagai golongan) Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjadi masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Étienne Charles de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan. Brienne sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, tetapi sementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di Parlement Paris (sebagian karena Raja tidak bijaksana), Brienne mulai menyerang, mencoba membubarkan seluruh "parlement" dan mengumpulkan pajak baru tanpa peduli terhadap mereka. Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di banyak bagian di Perancis, termasuk "Day of the Tiles" yang terkenal di Grenoble. Yang lebih penting lagi, kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan para kreditor jangka-pendek. Keuangan Prancis sangat tergantung pada mereka untuk mempertahankan kegiatannya sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka, menyebabkan negara hampir bangkrut, dan memaksa Louis dan Brienne untuk menyerah.
Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789 untuk pertama kalinya sejak 1614. Brienne mengundurkan diri pada 25 Agustus 1788, dan Necker kembali bertanggung jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan posisinya bukan untuk mengusulkan langkah-langkah pembaruan yang baru, melainkan untuk menyiapkan pertemuan wakil-wakil nasional.
B.     Revolusi Rusia
Revolusi Rusia 1917 adalah sebuah gerakan politik di Rusia yang memuncak pada 1917 dengan penggulingan pemerintahan provinsi yang telah mengganti sistem Tsar Rusia, dan menuju ke pendirian Uni Soviet, yang berakhir sampai keruntuhannya pada 1991. Revolusi ini dapat dilihat dari dua fase berbeda, diantaranya: Fase Pertama adalah Revolusi Februari 1917, yang mengganti otokrasi Tsar Nikolai II Russia, Tsar Russia yang efektif terakhir, dan mendirikan republik liberal. Fase Kedua adalah Revolusi Oktober yang diinspirasikan oleh Vladimir Lenin dari partai Bolshevik, memegang kuasa dari Pemerintahan Provinsi. Revolusi kedua ini memiliki efek yang sangat luas, mempengaruhi daerah kota dan pedesaan. Meskipun banyak kejadian bersejarah terjadi di Moskwa dan Saint Petersburg, ada juga gerakan di pedesaan di mana rakyat jelata merebut dan membagi tanah.
Pada tanggal 29 Juni, Kerensky, pemimpin Pemerintahan Provisional, mengumumkan kepada angkatan darat dan angkatan laut untuk memulai serangan baru. Kaum Bolshevik telah menjelaskan kepada Kongres Soviet, di dalam satu deklarasi yang ditulis oleh Trotsky, pada tanggal 4 Juni, bahwa “serangan tersebut merupakan sebuah petualangan yang mengancam eksistensi tentara”. Seperti yang dijelaskan oleh Trotsky dalam “My Life”, tidak akan ada pidato yang mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh tentara. Ketika serangan tersebut mengalami kekalahan yang tidak terelakkan, kaum Bolshevik disalahkan dan diburu dengan kejam. Tetapi pada saat yang sama, kepercayaan massa terhadap Pemerintahan Provisional ini menurun drastis. Pada tahap ini, kesadaran politik para tentara dan para pekerja di Petrograd lebih maju daripada seluruh Rusia. Lenin dan Trotsky tahu benar tentang hal ini dan mencoba mengembangkan kekuatan dari tendensi-tendensi radikal diantara para pekerja, tentara, dan pelaut, pada saat yang sama mengumandangkan slogan “All power to the Soviets” (Semua Kekuasaan kepada Soviet) yang akan mengekspresikan proses radikalisasi tersebut.
Pada tanggal 21 Juni, suatu pemogokan berkobar diantara para pekerja ahli di sebuah pabrik raksasa, Putilov. Pemogokan ini timbul dari perjuangan demi kenaikan upah pada saat periode kekurangan bahan makanan dan inflasi. Menghadapi keadaan politik yang ada pada saat itu, sebuah perjuangan ekonomi dalam skala kecil tidak akan berhasil dan pemimpin Bolshevik serta komite-komite pabrik menasehati para pekerja untuk menahan diri. Tetapi dalam beberapa hari, menjadi jelas bahwa ada gejolak massal di seluruh kota. Kemarahan ini ditujukan kepada pemerintah. Seperti yang dilaporkan oleh Serikat Buruh Brigade Lokomotif yang mengatakan kepada pemerintah, “Untuk terakhir kalinya kami beritahukan: kesabaran ada batasnya; kami benar-benar tidak dapat hidup dalam kondisi seperti ini…”
1.      Distrik Vyborg
Pada saat yang sama, beberapa laporan telah sampai ke ibukota mengenai pembubaran seluruh resimen tentara yang tidak patuh. Ada gejolak diantara para tentara yang berada di ibukota. Resimen di distrik Vyborg secara terus-menerus berada dibawah pengaruh kelas pekerja, terutama para pekerja perempuan. Seperti yang dijelaskan oleh Krupskaya, istri Lenin, “Yang pertama kali melaksanakan propaganda Bolshevik kepada para tentara adalah para penjual bibit bunga matahari, kvas (minuman ringan Rusia), dsb. Banyak dari mereka adalah isteri dari para tentara”. Trotsky menggambarkan proses ini seperti “disirami oleh sumber air panas kaum proletar secara terus-menerus.”
Tekanan diantara para tentara sangat besar, masalah mereka sangattlah mendesak dan mereka kurang paham akan situasi politik. Sebagaimana yang Trotsky jelaskan dalam “Sejarah Revolusi Rusia”, mereka mempunyai tendensi untuk terlalu percaya dengan kekuatan senjata. Pertemuan demi pertemuan dari resimen-resimen menghendaki aksi final melawan pemerintah, delegasi-delegasi datang dari pabrik-pabrik mendesak tentara untuk turun ke jalan, dan Resimen Senapan Mesin, yang menghadapi ancaman pengiriman 500 kru senapan mesin ke garis depan, mengirim delegasinya ke resimen-resimen yang lain, menyerukan kepada mereka untuk bangkit menentang perang yang tetap berlanjut. Di bawah kondisi ini, Komite Sentral Bolshevik, seringkali terpaksa mengirim beberapa delegasi ke para pekerja dan tentara, menyerukan kepada mereka untuk menahan diri, karena kekawatiran kalau-kalau suatu kebangkitan yang prematur dapat dipatahkan dengan konsekuensi yang sangat besar. Seksi-seksi dari militer dan pekerja mulai mengembangkan struktur informal baru, di bawah soviet-soviet, ini menunjukkan ketidaksabaran mereka, tetapi juga sekaligus suatu peringatan terhadap kaum Bolshevik bahwa otoritas politik mereka ada batasnya, bahkan diantara lapisan-lapisan yang paling maju pun. Kaum Bolshevik Vyborg mengeluh bahwa mereka harus “memainkan peran sebagai pemadam api”. Akhirnya Bolshevik tidak dapat menahan gelombang kemarahan para pekerja dan tentara dan pada tanggal 3 Juli, ribuan pekerja, tentara dan pelaut tumpah ruah ke jalan, siap bertempur, seksi-seksi dari pekerja dengan mobil-mobil lengkap dengan senapan mesin dan meriam, yang diberikan oleh para tentara.
Pada jam tujuh, aktivitas industrial ibukota sudah berhenti total. Buruh pabrik demi pabrik keluar, berbaris dan mempersenjatai detasemen Garda Merahnya. “Di tengah-tengah massa buruh yang tak terhitung jumlahnya,” ingat seroang pekerja Vyborg, Meletev, “ratusan Garda Merah muda sedang bekerja keras mengumpulkan senapan-senapan mereka. Yang lainnya mengisi peluru ke dalam kotak peluru, mengencangkan ikat pinggang, mengikatkannya pada ransel-ransel atau pada kotak-kotak peluru, menyetel bayonet-bayonet mereka. Dan para pekerja yang tidak punya senjata membantu Garda Merah mempersiapkannya…” Samsonevsky Prospect, arteri utama wilayah Vyborg, dipenuhi oleh massa. Di kiri kanannya berdiri barisan-barisan buruh yang ketat. Di tengah-tengah barisan Prospect, berbarislah Resimen Senapan Mesin yang merupakan tulang punggung arak-arakan ini. Di bagian depan tiap-tiap detasemen terdapat sebuah mobil truk dengan senapan mesin Maxim. Barisan buruh berada di belakang barisan resimen Senjata Mesin. Detasemen dari resimen Moskow bertugas melindungi garis belakang barisan demonstrasi ini. Setiap detasemen membentangkan sebuah spanduk “All Power to the Soviets!”.[1]
Gerakan ini adalah gerakan yang spontan yang dipicu oleh kondisi yang dihadapi oleh para tentara dan para pekerja, tetapi gerakan ini tidak memiliki tujuan atau strategi yang jelas. Dengan memperhitungkan mood kelas buruh, Komite Sentral Bolshevik, Komite Partai di Petrograd dan Komite Revolusioner Militer Soviet Petrograd yang didominasi oleh Bolshevik akhirnya setuju untuk ambil bagian dalam demonstrasi ini, untuk “memberikannya suatu ekspresi yang terorganisir”. Kaum Bolshevik mencoba secara efektif untuk mencegah supaya gerakan ini tidak terhancurkan saat ia mengalami kemunduran yang tidak terelakkan karena kurangnya fokus. Pada saat yang sama, sangatlah perlu untuk mengambil kepemimpinan di dalam situasi seperti ini, bersama-sama dengan para pekerja. Bila kaum Bolshevik berdiam diri saja, ini akan menghancurkan otoritas kaum Bolshevik diantara lapisan yang paling maju.
2.      Gerakan dari Bawah
Arak-arakan demonstrasi menjejali istana Tauride, dimana Eksekutif Sentral Soviet bermarkas. Para pekerja dan para tentara sudah jemu akan ketidaktegasan para pemimpin partai-partai reformis ini, Menshevik dan Sosial Revolusioner, seperti gerakan bulan Februari yang menggulingkan pemerintahan Tsar, gerakan ini datang dari bawah, bangkit dari kebuntuan yang dihadapi oleh Pemerintahan Provisional dan para pemimpin reformis ini. Para pemimpin reformis ini tercengang, dan kaum Bolshevik tetap mencoba mengendalikan massa dengan segala upaya. Satu kejadian di bawah ini menggambarkannya dengan sangat jelas. Di halaman depan istana, sekelompok orang yang mencurigakan, yang sebelumnya menjauh dari kerumunan, menangkap Chernov, menteri pertanian, dan membawanya ke dalam sebuah mobil. Kerumunan massa melihatnya dengan acuh tak acuh, tidak ada simpati dari mereka terhadapnya. Berita mengenai penangkapan Chernov dan mengenai bahaya yang mengancamnya mencapai istana Tauride. Kaum populis memutuskan untuk menggunakan kendaraan lapis baja bersenapan mesin untuk menyelamatkan pemimpin mereka. Kehilangan popularitas membuat mereka gelisah; mereka ingin menunjukkan ketegasan. Tetapi, seorang Bolshevik yang bernama Raskolnikov, letnan Angkatan laut Baltik, yang telah membawa para pelaut Kronstadt ke demonstrasi ini, dengan bersemangat menuntut untuk melepaskan Chernov seketika itu juga, guna menghindari anggapan masyarakat bahwa dia telah ditangkap oleh orang-orang Kronstadt.
Kaum reaksioner bergerak dengan cepat, para menteri Cadet meninggalkan pemerintah Koalisi dan kaum Borjuis menyerukan kepada menteri-menteri reformis untuk memutuskan hubungan mereka dengan Soviet. Surat kabar sayap kanan meraung-raung menuntut darah kaum Bolshevik, meluaskan propaganda anti-Yahudi, dan menuduh Lenin sebagai mata-mata Jerman. Bahkan para pemimpin SR dan Menshevik bergabung dengan mereka, meminta Lenin untuk menyerahkan diri. Meskipun mereka tahu benar bahwa tuduhan-tuduhan terhadap Lenin tersebut samasekali tidak benar. Lenin pergi bersembunyi setelah dibujuk oleh para pemimpin Bolsherik yang lain untuk tidak menyerahkan diri, yang akan berarti bunuh diri. Walaupun begitu, dia setuju bahwa dia akan menyerahkan dirinya jika surat penangkapannya ditandatangani oleh Eksekutif Sentral Soviet. Tidak ada gunanya mengatakan bahwa ini merupakan tindakan yang terlalu jauh bahkan bagi kaum refomis sekalipun. Bagi kaum borjuis, pendulum ini belum mengayun cukup jauh ke kanan. Pada sebuah pertemuan komite provisional Duma, kaum reaksioner membabi buta; Maslenikov menyerukan pengakhiran Dwi Kuasa, peran dari soviet-soviet dan bahkan: “jika seribu, dua ribu, mungkin lima ribu bajingan yang ada di garis depan, dan beberapa lusin lagi yang ada di belakang, bisa dienyahkan, kita tidak akan menderita suatu aib yang sungguh memalukan.”[2]
(Alexander Rabinowitch, The Bolshevik Come to Power : The Revolution of 1917 in Petrograd ).
Dalam usahanya untuk memulihkan keadaan, kaum reaksioner secara terus menerus menghendaki dikembalikannya hukuman mati. Mereka melakukan ini untuk memulihkan keadaan dalam masyarakat, tetapi secara fundamental untuk memulihkan keadaan di dalam angkatan bersenjata, yaitu “kumpulan orang-orang bersenjata” yang dibutuhkan untuk mempertahankan pemerintah dan seluruh aparatus negara. Hanya berdasarkan ini kaum reaksioner dapat menghancurkan Dwi Kuasa dan kelas pekerja. Setiap kali gerakan rakyat mengambil langkah mundur, kaum reaksioner mengambil sebuah langkah maju. Kaum reaksioner semakin bertambah berani dan para pekerja di Petrograd merasa semakin terisolasi dan lemah. Dalam perspektif Lenin, Dengan dikeluarkannya surat perintah penangkapan bagi Lenin, Kamenev, Zinoviev dan dengan terpukul kebelakangnya gerakan rakyat, Lenin pertama kali berpendapat bahwa kaum reaksioner telah meraih kemenangan mutlak. Dia bahkan mempertimbangkan pada satu tahap bahwa Bolshevik akan beroperasi di bawah tanah “untuk waktu yang lama.” Trotsky, yang sedang dalam proses mencoba membawa organisasinya, Mezhrayontsi (Organisasi Inter Distrik) ke dalam Bolshevik, membuat pernyataan solidaritas terhadap Bolshevik yang dibuat secara sangat publik dan sebagai akibatnya, dia langsung ditangkap.
Beberapa minggu berlalu sebelum situasi berubah. Lenin merasa bahwa sebuah kesempatan untuk suatu transformasi masyarakat secara damai telah lewat dan bahwa kaum Bolshevik perlu mempersiapkan kemungkinan perang sipil. Untuk sesaat, dia berpendapat bahwa soviet-soviet telah kehilangan nilainya sebagai organ perjuangan, karena kepemimpinan soviet telah menyeberang ke kubu kontra-revolusi. Dia bahkan ingin mengganti slogan yang awalnya “Semua Kekuasaan kepada Soviet” menjadi “Semua kekuasaan kepada komite pabrik” dan bahwa partai Bolshevik harus mempersiapkan pemberontakan berdasarkan ini. Bahkan di dalam situasi ini, Lenin melihat ke depan dan mempersiapkan sebuah pemberontakan, berdasarkan pada pemahaman bahwa tidak ada dasar bagi kaum reaksioner untuk mengkonsolidasikan kekuatan di dalam kondisi seperti sekarang ini. Tetapi, reaksi setelah peristiwa Juli secara dramatis mempengaruhi keseimbangan kekuatan di dalam kelas pekerja. Para pemimpin reformis duduk di bangku kepemimpinan soviet-soviet dengan sangat kuatir, dan pada saat yang sama secara efektif menyokong kontra-revolusi dan mempersiapkan kondisi bagi perang sipil.
Bolshevik mulai pulih. Kekuatan kontra-revolusi ternyata lebih lemah dari yang diperkirakan oleh Lenin. Kebijakan Kerensky sangat tidak popular, khususnya bagi para tentara yang ada di garis depan dimana para tentara hanya ingin pulang ke rumah. Suatu usaha untuk memperkenalkan kembali disiplin tsaris kepada tentara mandeg pada para perwira, yang sudah dipaksa untuk diam pada bulan-bulan setelah Februari. Para pemimpin Menshevik dan SR mulai kehilangan kendali mereka terhadap para pekerja dan tendensi-tendensi kiri; kaum internasionalis Menshevik, Mezhrayontsi dan Bolshevik, mulai membangun pengaruh di Soviet-soviet. Seiring dengan terbangunnya kembali partai Bolshevik, menjadi jelas bahwa represi sebelumnya tidak menghancurkan partai Bolshevik. Sebaliknya, partai Bolshevik mulai berkembang lagi. Pada Kongres keenam, Trotsky membawa Mezhrayontsi ke dalam Bolshevik dan ia dipilih sebagai anggota Komite Sentral dengan dukungan penuh dari Lenin. Hari-hari masihlah sangat sulit, kantor-kantor dan dokumen-dokumen yang dihancurkan oleh kaum reaksioner mengakibatkan disorganisasi sementara. Pravda hanya dapat memulai kembali publikasinya pada awal bulan Agustus. Lenin mencoba mempersiapkan Komite Sentral untuk menghadapi kondisi politik yang baru ini dan perlunya mempersiapkan pemberontakan bersenjata. Dari 15 anggota Komite Sentral yang hadir, 10 suara menolak analisanya. Merasa kawatir terhadap sikap Komite Sentral yang kurang tegas, esok harinya Lenin mengatakan: “Rakyat harus tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang – mereka harus tahu siapa yang sebenarnya memegang kendali negara…” Kekuasaan berada di tangan segelintir tentara Cavaignacs (Kerensky, beberapa jenderal, para perwira, dll), yang didukung oleh kelas borjuis yang dipimpin oleh partai Cadet, dan oleh seluruh kaum monarki, yang beraksi lewat selebaran-selebaran milik Black Hundreds”.
C.    Analisis Perbandingan
Revolusi Perancis lebih terfokus pada ajarannya Nicolo Machiavelli, sehingga dengan ajarannya itu dapat mempengaruhi dampak yang negatif dan sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan negara tersebut. Dan pada akhirnya raja-raja yang banyak menganut ajarannya tersebut dapat melatarbelakangi:
1.    Raja bertindak sewenang-wenang karena tidak didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Seperti halnya yang dilakukan oleh raja Louise XIV : L'etat c'est moi, yang artinya Negara adalah saya.
2.  Ketidakstabilan dan diskriminasi hak, golongan bangsawan dan kaum rohaniwan  memiliki hak-hak istimewa, seperti memungut pajak, tidak dikenai pajak, dan memiliki tanah. Sebaliknya rakyat kecil malah diberati pajak.
3.      Keadaaan keuangan kerajaan buruk-Madame de Pampoure dan Maria Antoinette (Ratu defisit)

Dan juga dalam revolusi Perancis banyak tokoh-tokoh penentang absolutisme, diantaranya:
1.    John Locke (1632-1704) seorang filsuf Inggris yang menganjurkan adanya undang-undang (konstitusi) dalam suatu kerajaan dan berpendapat bahwa manusia memiliki hak-hak sejak lahir seperti hak kemerdekaan, hak memilih, hak untuk memiliki dan sebagainya.
2.   Montesquieu (1689-1755)- Seorang filsuf berkebangsaan Perancis dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) (The Spirit of The Law) menyatakan bahwa suatu negara yang ideal adalah yang kekuasaannya dibagi atas tiga kekuasaan, diantaranya: Pertama, Legislatif (pembuat Undang-Undang), Kedua, Eksekutif (pelaksana Undang-Undang), dan Ketiga, Yudikatif (mengadili setiap pelanggar undang-undang). Ketiga hal tersebut sering disebut dengan Trias Politica’.
3.      Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Seorang filsuf Perancis dalam bukunya yang berjudul "Du Contract Social" (Perjanjian Masyarakat), mengatakan bahwa manusia sejak lahir adalah sama dan merdeka. Oleh karena itu ian menganjurkan sistem pemerintahan demokrasi atau kedaulatan rakyat dengan semboyan ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
4.      Voltaire, mengajarkan usaha-usaha menentang dominasi gereja.

Sangatlah jauh perbedaan revolusi Perancis dan revolusi Rusia. Terjadinya revolusi Perancis disebabkan adanya kerajaan dan pemerintahan yang absolut dan keduanya tidak saling mendukung. Dengan demikian, memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat. Dan selain itu juga dampak revolusi Prancis, antara lain:
1.   Bidang politik, Menyadarkan rakyat menuntut kebebasan, menentang kekuasaan asing, memunculkan semangat  nasionalisme, dan keinginan membentuk negara berkedaulatan rakyat.
2.    Bidang Ekonomi, Penghapusan hak istimewa bangsawan dan pendeta. Rakyat berhak memiliki tanah dan hanya membayar pajak pada negara.
3.      Bidang sosial, Muncul golongan buruh, petani, kaum kapitalis.

Berbeda dengan revolusi Rusia, pertarungan antar partai dalam hal perebutan kekuasaan, dengan cara melibatkan seluruh masyarakat, baik masyarakat klas bawah ataupun masyarakat klas atas. Kaum buruh dan pekerja pun terlibat di dalamnya. Sehingga dengan demikian, revolusi Rusia akan semakin keras dan kuat apabila musuh dari partai tersebut jauh lebih keras dan kuat. Di Rusia tidak terdapat Revolusi borjuis seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Barat, dimana aturan-aturan monarki digantikan aturan yang dibuat oleh parlemen yang dipilih. Adanya parlemen ini merefleksikan pertumbuhan kekuatan ekonomi di bidang politik, dan mereka  (borjuis) menjadi klas penguasa yang baru. Borjuasi Rusia secara ekonomis sangat lemah, dan secara politis mereka takut untuk bekerja sama dengan klas buruh dan tani dalam revolusi borjuis.


[1] Trotsky, “Sejarah Revolusi Rusia”, Hal. 2. Jilid 1
[2] Alexander Rabinowitch, “Kembalinya kekuatan Bolshevik: Revolusi tahun 1917 di Petrograd”.


REFERENSI :
Terry McPartlan, Russian Revolution – From July to September: Revolution and Counter Revolution “, 27 Agustus 2007
Trotsky, Terjemahan “Sejarah Revolusi Rusia”, Hal. 2. Jilid 1
Alexander Rabinowitch, “Kembalinya kekuatan Bolshevik: Revolusi tahun 1917 di Petrograd”, 2005

1 comment: